SEJARAH

20 Februari 2012

Visi Langkah lanjutan setelah "investmentgrade"

Jakarta (ANTARA News) -
Seminar yang digelar sebuah
harian ekonomi nasional dengan
tema "Pasca Investment Grade: What Next?" pada Rabu (18/1) di Jakarta,
tanpa disangka-sangka sepertinya
`nyambung` dengan keputusan yang
dikeluarkan Moody`s lembaga rating
internasional pada siang harinya. Moody`s Investor Service dari kantornya di
Singapura mengabarkan telah menaikkan
peringkat utang pemerintah Indonesia baik
pinjaman dalam dan luar negeri dari Ba1
menjadi Baa3 dengan "outlook" stabil yang
artinya masuk dalam tingkat layak investasi atau investment grade. Dalam siaran pers yang dikutip dari situs
laman Moody`s disebutkan bahwa kenaikan
peringkat Indonesia ditetapkan mengingat
peringkat keuangan pemerintah Indonesia
yang masih sejalan dengan negara-negara di
peringkat Baa. Moody`s menilai bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan
terhadap krisis ekonomi global, kebijakan
pemerintah yang dapat mengatasi
kerentanan finansial, serta sistem
perbankan yang lebih kuat menghadapi tekanan. Kekuatan perekonomian Indonesia di tengah
krisis keuangan eksternal dilihat dari
kemampuan untuk melakukan investasi,
peningkatan rencana pembangunan
infrastruktur serta sistem keuangan dikelola
dengan baik. Pertumbuhan ekonomi tersebut juga diikuti
dengan kemampuan pembayaran utang
eksternal, peningkatan investasi langsung
(FDI) dan perkiraan tingkat inflasi yang
semakin stabil dan rendah. Dengan keputusan Moody`s ini, Indonesia
berarti sudah mendapatkan dua peringkat
layak investasi dari Moody`s dan Fitch yang
pada Desember lalu menaikkan rating
Indonesia dari BB+ ke BBB-. Masih ada satu lembaga pemeringkat
internasional yaitu Standard and Poors
(S&P) yang belum meningkatkan peringkat
Indonesia ke `investment grade`, meski
diyakini rating itu akan segera didapat
Indonesia pada tahun ini. Bukan Tujuan Akhir Dalam kesempatan seminar di atas,
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution
memaparkan bahwa meningkatnya rating
Indonesia menjadi "investment grade"
bukanlah keberhasilan yang diraih secara
tiba-tiba, tetapi setelah menapaki perjalanan yang panjang. Pada masa krisis tahun 1998 rating
Indonesia anjlok tajam 6 notch hanya dalam
kurang dari setahun yaitu dari BBB- menjadi
B- dan berdampak pada merosotnya
kepercayaan investor terhadap
perekonomian domestik, sehingga terjadi gelombang penarikan modal dan
terhentinya arus modal masuk khususnya
dalam bentuk utang luar negeri swasta. Di pihak lain, perekonomian mengalami
kontraksi yang cukup dalam minus 13
persen, sementara inflasi melonjak hingga
double digit. Industri perbankan kita pun
harus direkapitalisasi dengan biaya yang
sangat besar. Baru setelah selama 14 tahun melakukan
reformasi di bidang ekonomi, keuangan, dan
politik, meningkatnya rating Indonesia dari
BB+ ke BBB- pada akhir tahun 2011 lalu
mengkonfirmasi bahwa Indonesia saat ini
dinilai layak menjadi tempat investasi. "Tentu ini adalah sebuah pencapaian yang
membesarkan hati karena terjadi pada saat
banyak rating negara lain khususnya di
Eropa yang justru diturunkan. Kondisi
paradoks tersebut semakin memperkuat
keyakinan bahwa di tengah meningkatnya ketidakpastian kondisi global belakangan ini,
perekonomian kita tetap memiliki ketahanan
yang cukup baik," katanya. Pencapaian tersebut, lanjut Darmin juga
merupakan buah dari hasil kerja keras dan
jalinan kerjasama di antara semua pemangku
kebijakan, para pelaku di dunia usaha dan
sektor keuangan, serta masyarakat secara
luas. Namun, Darmin melihat meski pencapaian
investment grade akan memberikan
keuntungan bagi perekonomian, hal itu
bukanlah tujuan akhir pembangunan
ekonomi Indonesia karena justru merupakan
tantangan untuk memacu pertumbuhan ke tingkat potensialnya sekitar 7 persen. "Saya memandang, kita memiliki peluang
untuk mencapainya apabila kita dapat
memanfaatkan berbagai potensi besar yang
kita miliki dan secara bersamaan
menuntaskan berbagai persoalan struktural
di tingkat mikro yang masih terus menjadi beban bawaan (perennial) dari tahun ke
tahun," kata Darmin. Pengamat ekonomi Fauzi Ichsan mengatakan
peringkat "investment grade" akan sangat
membantu perekonomian Indonesia seperti
terlihat dari membaiknya indeks saham di
BEI setelah kenaikan rating tersebut, dan
diperkirakan akan terus meningkat pada tahun ini. Beberapa sektor ekonomi lain, lanjutnya
juga diperkirakan akan terus membaik
seperti rasio utang bruto, neraca
pembayaran dan tingkat kemiskinan dan
pengangguran. "Yang jelas pasar keuangan Indonesia akan
terbantu kenaikan peringkat risiko
Indonesia menjadi investment grade,"
katanya. Infrastruktur Darmin Nasution menilai permasalahan
struktural di bidang ekonomi masih sangat
luas dan harus segera diperbaiki terutama di
bidang yang paling menghambat di mata
pelaku usaha yaitu bidang infrastruktur,
baik infrastruktur keras maupun lunak atau kualitas SDM. Menurutnya, infrastruktur keras mencakup
infrastruktur teknis seperti jalan raya,
pelabuhan, dan listrik, sedangkan
infrastruktur lunak mencakup infrastruktur
sains, kesehatan dan lingkungan hidup,
serta pendidikan, termasuk di dalamnya lingkungan yang kondusif bagi
berkembangnya inovasi. Dijelaskannya, kemajuan implementasi
kebijakan di sisi struktural ini akan menjadi
faktor kunci terhadap proses menurunnya
inflasi karena akan memperbesar kapasitas
perekonomian. Perbaikan struktural ekonomi ini, tentunya
akan mendukung kondisi demografi
Indonesia yang sangat menguntungkan
dalam hal ukuran pasar domestik yang
besar, transisi demografi yang didominasi
oleh penduduk usia produktif, maupun perilaku rasional masyarakat dalam
mengelola tingkat konsumsinya. "Perlu dicatat bahwa momentum demografi
yang kondusif di Indonesia tersebut
diperkirakan hanya akan berlangsung
hingga tahun 2025- 2030. Oleh karena itu,
langkah-langkah perbaikan strukural yang
signifikan sebelum datangnya periode tersebut akan sangat krusial dalam
menentukan sustainabilitas pertumbuhan
ekonomi Indonesia ke tingkat yang lebih
tinggi dalam jangka menengah panjang,"
katanya. Darmin berpendapat rating "investment
grade" yang didapat Indonesia juga harus
diikuti optimalisasi dan efisiensi di semua
sektor ekonomi, sehingga pertumbuhan
ekonomi bisa mencapai titik potensial yang
bisa tercapai. "Pencapaian ekonomi kita sudah bagus,
tetapi itu tidak optimal dan tidak efisien,
bukan cuma di bank tetapi di seluruh sektor
ekonomi," katanya. Menurut Darmin, BI telah menyusun
berbagai langkah di bidang moneter, sistem
pembayaran, dan perbankan untuk
meningkatkan efisiensi yang diharapkan
bisa menciptakan keseimbangan
pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal. Dikatakannya, sebagai upaya mendorong
efisiensi, BI berusaha untuk menurunkan
suku bunga perbankan. Penurunan suku
bunga itu bisa terjadi jika keseimbangan
dicapai pada harga yang rendah. Tidak efisiennya ekonomi Indonesia,
katanya, juga terlihat dari transaksi berjalan
yang mulai kwartal empat 2011 sudah
negatif akibat lebih tingginya impor
dibanding ekspor dan kondisi ini akan terus
terjadi pada 2012. "Pada 2012 sepanjang tahun akan terjadi
defisit transaksi berjalan, sehingga harus
diupayakan transaksi modal harus surplus
untuk menutupnya melalui penanaman
modal asing," katanya. Negatifnya transaksi berjalan, lanjutnya,
merupakan kelemahan struktur ekonomi
Indonesia karena industri bahan baku dan
bahan modal sangat sedikit. Dengan
pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, maka
impor tumbuh lebih cepat dari ekspor, sehingga transaksi berjalan menjadi defisit. Dua peringkat layak investasi, memang
harus dilihat merupakan pencapaian kinerja
ekonomi Indonesia yang dicapai dengan
kerja keras berbagai pihak dalam waktu
yang panjang. Namun, berbagai persoalan masih banyak
menghadang yang bisa membuat peringkat
layak investasi itu hanya sebuah sebutan
saja, karena kesempatan yang terbuka tidak
bisa dimanfaatkan sepenuhnya dengan
memperbaiki berbagai hambatan itu. "Saya bukan pesimis meski kita dapat
`investment grade`, tapi banyak yang harus
dibenahi," kata Darmin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentarnya,mas bro dan mba br0.